Judul : Daun Yang Jatuh Tak Pernah Membenci Angin
Pengarang : Tere Liye
Tahun Terbit : Juni 2010
Penerbit : PT. Gramedia Pustaka Utama
Jumlah Hal : 264 halaman
Kategori : Fiksi, Novel
Pengarang : Tere Liye
Tahun Terbit : Juni 2010
Penerbit : PT. Gramedia Pustaka Utama
Jumlah Hal : 264 halaman
Kategori : Fiksi, Novel
Dari judulnya Novel ini terlihat sudah menarik. Sekilas menggambarkan
tentang kisah kasih dimana salah satu pasangan merasa tersakiti, tapi dia
ikhlas menerimanya dan tak pernah sekalipun membenci. Karena, rasa sayang yang dirasakan telah
mengalahkan rasa sakit itu. Tapi ternyata perkiraan saya salah. Tere-Liye
menyajikannya menjadi sebuah cerita yang unik dan menarik. Ah, seperti biasa,
Tere-Liye memang jagonya kalau soal membuat pembaca merasa penasaran.
Kalau anda membaca bait pertama yang ada di halaman belakang novel ini, maka anda akan mulai merasakan satu langkah masuk ke pintu imajinasi Tere-Liye.
Dia bagai malaikat bagi keluarga kami.
Merengkuh aku, adikku, dan Ibu dari kehidupan jalanan yang miskin dan nestapa.
Memberikan makan tempat berteduh, sekolah, dan janji masa depan yang lebih
baik.
Tania, dan adiknya, Dede, adalah anak jalanan yang biasa mencari uang dengan
mengamen. Suatu malam, saat berada di dalam bus untuk mengamen, tanpa sadar
kaki Tania berdarah karena menginjak paku. Ya, kedua kakak beradik ini berjalan
tanpa alas kaki, mereka tak mampu membeli uang untuk membeli alas kaki,
katanya. Sontak hal ini membuat seorang pemuda, Danar, segera membantunya
dengan membalut kaki Tania dengan sapu tangannya. Ya, inilah awal pertemuan
Tania dan Danar, yang bahkan jarak umur mereka mencapai 14 tahun.
Sejak saat itu, Danar mengubah kehidupan Tania dan keluarganya menjadi lebih
baik. Mereka yang selama ini tinggal di rumah kardus, sekarang sudah bisa
tinggal di rumah kontrakan. Tania dan Dede juga mulai sekolah setelah
sebelumnya sempat berhenti. Kehidupan mereka pun menjadi lebih baik setelah
bertemu dengan Danar. Danar pun sering mengajak Tania dan Dede untuk pergi ke
toko buku yang terletak di Jalan Margonda Raya. Toko buku itu kemudian menjadi
tempat favorit mereka karena disana mereka bisa bertukar cerita, melamun,
mengkhayal dan menikmati indahnya malam dari dinding kaca lantai dua toko buku
tersebut.
Bait kedua dan ketiga,
Dia sungguh bagai malaikat bagi keluarga kami.
Memberikan kasih sayang, perhatian dan teladan tanpa mengharap budi sekali pun.
Dan lihatlah, aku membalas itu semua dengan membiarkan mekar perasaan ini.
Ibu benar, tak layak aku mencintai malaikat
keluarga kami. Tak pantas. Maafkan aku, Ibu. Perasaan kagum, terpesona, atau
entahlah itu muncul tak tertahankan bahkan sejak rambutku masih dikepang dua.
Siapa sangka, Tania kecil bisa jatuh cinta pada pria dewasa yang bahkan berbeda
empat belas tahun lebih tua darinya. Itulah sebabnya dia berusaha keras untuk
menjadi wanita yang cantik dan cerdas agar bisa sepadan dengan malaikatnya,
Danar. Waktu berjalan cepat dengan kemajuan yang cepat pula. Tania tumbuh
menjadi perempuan dewasa yang hebat. Dia bersekolah di Singapura tepat setelah
Ibunya meninggal. Saat itu, Danar sudah seperti keluarganya sendiri.
Tania tak pernah tahu bagaimana perasaan Danar terhadapnya. Di satu sisi Tania
berpikir bahwa mungkin Danar hanya menganggapnya sebagai adiknya tapi di sisi
lain Tania ingin Danar menjadi miliknya, menjadi suaminya. Tapi semua berubah
saat Tania mendengar kabar bahwa Danar akan menikah dengan seorang perempuan
bernama Ratna. Hatinya hancur.
Bait keempat,
Sekarang, ketika aku tahu dia boleh jadi tidak
pernah menganggapku lebih dari seorang adik yang tidak tahu diri, biarlah…
Biarlah aku luruh ke bumi seperti sehelai daun… daun yang tidak pernah membenci
angin meski harus terenggutkan dari tangkai pohonnya.
Waktu pun berlalu. Danar sudah membangun rumah tangganya dengan Ratna dan Tania
pun tetap melanjutkan pendidikannya di Singapura. Saat Tania pulang ke
Indonesia, ada suatu hal mengejutkan yang tak pernah ia tahu sebelumnya. Mau
tahu apa? Baca novelnya ya hehehe
Ada satu kalimat yang sangat aku suka dalam novel ini, dikutip dari halaman 196,“Bahwa hidup harus menerima, penerimaan yang
indah. Bahwa hidup harus mengerti, pengertian yang benar. Bahwa hidup harus
memahami, pemahaman yang tulus. Tak peduli lewat apa penerimaan, pengertian,
dan pemahaman itu datang. Tak masalah meski lewat kejadian yang sedih dan
menyakitkan” bagus sekali bukan?
Bahasa yang disampaikan oleh Tere-Liye dalam novel ini cukup ringan dan mudah
dimengerti oleh semua level pembaca. Alurnya juga bagus. Latar yang disampaikan
jelas dan mampu membawa pembaca seperti benar-benar berada di tempatnya.
Penokohannya sangat menarik menurut saya, karena Tere-Liye, entah berdasarkan
riset apa tapi dia mampu menjelma sebagai tokoh yang sesuai dengan kehidupan
nyata, tidak hanya sekedar imajinasi belaka. Banyak sekali pelajaran hidup yang
bisa kita ambil dengan mengikuti aliran ceritanya. Selamat membaca.
____________________________________________
Perpustakaan Pusat Belajar Guru (PBG) Bojonegoro
Jl. Rajawali No. 3 Bojonegoro, 62119
0 komentar:
Posting Komentar